Jendela Santri Part 1 | Cerpen Santri
-
Sesiang ini ihsan menerawang bayangan sampai menembus awan putih di balkon blok. Jika dia ditanya sedang membayangkan apa, maka suara sendunya menjawab bahwa kampung halamannya membayanginya. Ihsan sungguh tak benar-benar bisa melepaskan bagaimana saat-saat dia telanjang menceburkan diri ke kali atau bermandi peluh menyepak bola plastik yang sudah bocor disana-sini. Lidahnya mulai kangen dengan masakan mamak yang takkan mampu digantikan oleh nasi warteg sekalipun. Dia sungguh galau. Maklum, ini pengalaman pertamanya mondok
-
Kang Faruq, senior blok tahfidz, mendekati anak baru itu sambil membawa al-Quran lusuh terbitan Kudus. Bukan untuk menyapa anak baru itu. Siang cerah dengan angin sepoi ini sangat nikmat untuk memurajaah hafalannya yang banyak. Mulailah dia membuka lembaran yang sebagian kertasnya mau lepas. Lidahnya begitu licin melafalkan ayat-ayat suci itu saking seringnya dibaca. Lirih, cepat, namun begitu enak didengar. Meski pesona seniornya memukau, hal itu tak mampu mengetuk hati Ihsan karena terlanjur tenggelam dengan hatinya sendiri.
-
Ihsan tiba-tiba dikejutkan kata-kata seniornya yang berhenti mengulang hafalannya mendadak. "Jangan lupa tujuan awalmu kesini!" katanya dengan suara berat
"Eh, iya, Kang?!" balas Ihsan kikuk
-
"Sing tenang!" kata Kang Faruq tegas. Wajahnya nampak kaku, mata ikannya bahkan bisa menembus sanubari lawan bicaranya
-
Ihsan gelagapan dengan perkataan seniornya yang terdengar menuduh. Tapi diam-diam dia mengiyakan di dalam hati.
-
Ihsan membela dirinya. "Kula nggak galau atau semacamnya, Kang." Kang Faruq malah memasang wajah bingung, nggak paham maksud Ihsan.
-
Tiba-tiba wajah kaku itu berkerut banyak. Dia tertawa terbahak-bahak karena menyadari perasaan Ihsan yang sedang galau itu, padahal dia samasekali tak berpikiran begitu. Kedua kata-katanya tadi murni semacam slogan atau jargon yang meluncur kapan saja.
Anak baru itu sekarang yang kebingungan.
-
Setelah tawanya reda, Kang Faruq mulai bertanya soal latar belakang juniornya. Ihsan malu-malu menjawabnya, memberikan jawaban singkat, patah-patah, seadanya tanpa ada rasa antusias.
-
"O, begitu. Jadi awalnya kamu pengin kuliah di rumahmu saja tapi justru dipaksa bapak buat mondok disini. Wah, jauh-jauh jebul dibuang kesini, tho," canda Kang Faruq. "Berarti sampeyan disuruh prihatin, disuruh belajar susah."
-
Wajah sendu Ihsan mulai tersedot ke senyum manis seniornya. Dia yang belum bisa menyingkirkan perasaannya mulai takzim mendengarkan Kang Faruq berfatwa. "Bapakmu mungkin nggak percaya sampeyan bisa tumbuh dewasa di rumah. Di sana kan segala kenyamanan hidupmu begitu mudah sampeyan dapat, sih. Makanya bapakmu sampai repot-repot membuangmu ke sini!"
-
Tanpa Ihsan sadari wajahnya merengut. Kang Faruq tetap melanjutkannya. "Tapi sampeyan akan dapat gantinya yang lebih, kok. Ya asalkan sabar dan mau menerima keadaan saja. Lagipula berkuliah disini tidak buruk juga, kan? Sampeyan bisa kuliah sambil ngaji, bisa dapat dunia plus akhirat. @al_asyariyyah emang lengkap"
-
Ihsan kemudian cuma menatap awan yang beranak-anak di langit lagi tanpa bisa melepaskan hatinya yang tertawan di kampung halaman.
_
--kalibeber, 7 Mei 19
Nanas
Comments
Post a Comment