Jendela Santri Part 3 | Cerpen Santri



JENDELA SANTRI PART 3
.

Kukira setoran hafalan pagi ini libur. Ustadz yang biasa menerima kami setoran, yakni Kang Faruq, pagi ini tidak ada di kamar. Kudengar dia pergi pada malam harinya, tapi tak ada satupun dari teman seangkatan yang mengetahui alasannya. Tentu saja hal ini disambut gembira, akhirnya bisa tidur habis subuh. Hafalanku juga masih grotal-gratul tak karuan
Maunya sih begitu. Saat setelah salat subuh di masjid, aku berniat ingin memanjakan diri di atas kasur. Sekali-kali kan nggak apa-apa?! Baru sekejap mataku menutup dan mimpi baru memutar trailer, si anak celelekan, Raihan, menggoyang-goyangkan tubuh sambil bilang, "Woey, bangun, Han. Tidur mulu. Itu, lho, subuhan disik."
-
Kujawab dengan malas, "Mangsamu. Aku sudah subuhan daritadi. Ganggu aja."
-
Dia masih menggoyangkan tubuhku. Karena jengkel, kubangkit dari kasur dan mengusirnya, "Pergi kau."
-
Jangtungku memompa darah keras. Dadaku berdebar-debar. Meski kamar gelap, aku masih bisa mengira bagaimana dia tersenyum jahil lewat tumpahan lampu luar kamar yang belum dimatikan. Dia bilang, "Ngaji, lho."
-
"Kata siapa? Kang Faruq lagi pergi gitu."
-
"Heh, ngaji nggak harus sama dia. Ayo mangkat. Kamu sendiri yang masih tidur mulu. Yang lain sudah bangun, sudah berangkat. Tidur dibanyakin. Nderes lho dibanyakin."
Sungguh hanya mengumpat dalam hati yang bisa kulakukan. Meladeni anak berambut kriwil ini menguras banyak energi. Toh paling-paling dia hanya ingin mengerjaiku. Omongannya sulit dipercaya. Dia sering bikin cerita mengada-ada. Kalau pagi ini kuturuti omongannya, pasti hanya ada aku sendiri di Masjid Karangsari.
-
Kukembali membaringkan tubuh dan melanjutkan mimpi yang baru trailernya. Dia masih menepuk tubuhku. "Apa?"
-
"Sekarang ngajinya bareng Kang Hidayat. Nanti aku laporkan sama dia kalau kamu ngoroknya keras sampai susah dibangunin."
-
Setelah mendengar kalimatnya, rasa kantuk yang menggandul di kelopak mata lenyap tak bersisa.
Kami berdua tiba di Masjid Karangsari dengan ngos-ngosan. Untunglah masih sempat. Teman-teman masih banyak yang di serambi. Kuintip lewat jendela, ternyata Raihan si hoax berkata benar. Kang Hidayat terlihat masih menyimak hafalannya Adi, anak baru yang hafalannya cepat, dan Badrun mengantri di belakangnya
-
Ya Allah! Kubuka-buka lembar halaman yang ingin kusetor hafalannya dengan panik. Ah, tidak bisa begini. Hafalan yang kuhafal tadi malam belum juga nyantel di otak. Hingga tinggal aku sendiri yang belum setoran
Kang Hidayat memanggilku. Tidak bisa kabur, kulangkahkan kaki sambil berjalanan menunduk menghadapnya. Seperti yang aku duga, hafalanku banyak tersendat. Aku banyak ditegur dan dibetulkan olehnya. Mukaku kecut sekali. Aku mundur ke belakang setelah Kang Hidayat menyerah menyimak hafalanku yang payah
Kami serempak membaca doa dan puji-pujian, mengakhiri sesi setoran. 
-
Setelahnya, Kang Hidayat memberikan ceramah singkatnya, persis yang biasa dilakukan Kang Faruq. "Ngaji itu nggak ada namanya libur."
-
Aku hanya menunduk malu. Kutengok ke teman seangkatanku lainnya, mereka juga menunduk pula. O, aku paham. Mereka sama halnya denganku yang mengira hari ini libur setorannya
-
Kang Hidayat melanjutkan, "Pasti kalian mengira tidak ngaji kan?" Tak ada yang mengangkat suara. "Hadeh. Bahkan hafalan kalian saja banyak yang salah-salah. Terutama Badrun, Raihan, sama Ilham."
-
Semua mata melihat kami berdua. Badrun terlihat tak terima langsung menyanggah, "Kang, kan aku lancar, sih? Beda sama Raihan yang parah hafalannya!"
-
Sebelum mulutku menimpali, Kang Hidayat langsung menanggapinya, "O, ya? Tapi makhorijul hurufnya parah banget. Kamu dibenarkan bolak-balik nggak bener-bener juga."
-
Wajahnya merah menahan malu. Rasain. Kang Hidayat kalau ngomong memang ceplas-ceplos, berbeda dengan Kang Faruq yang hanya menyindir halus dan sering memberi semangat dengan gaya bercandanya, meski memiliki wajah yang kaku.

"Raihan juga sama. Banyak celelekannya." Yang ditegur cuma cengengesan. "Dan untuk Ilham, hafalanmu sangat berantakan kayak kapal pecah. Heran kenapa kau bisa masuk blok tahfidz ini." Selanjutnya aku ingin mengubur kepalaku karena malu.
-
"Kalian sebenarnya berdoa ndak sih sebelum menghafal?" Tidak ada yang menyahut, namun terlukis kebingungan di wajah-wajah kami. "Jangan remehkan doa. Niat yang lurus dan usaha itu bagus, tapi sia-sia tanpa berdoa. Berdoa, mintalah sama Allah! Jangan sombong!"

Rasanya dia akan menggebrak meja kapan saja saking membaranya pidatonya.
-
"Bukannya Allah sudah berfirman di Surat Ghofir ayat 60?! Badrun, hafalanmu sudah sampai situ, kan? Bacakan!"
--
Badrun hanya menggaruk kepala dan menjawab, "Aduh, Kang, yang mana ya?"
-
Kang Hidayat mendecak kecewa. "Coba tanamkan ayat ini ke dalam hati kalian."
Kang Hidayat melantunkan ayat itu dengan tilawah merdunya. Semua orang tertegun mendengarnya, "َٱدۡعُونِی أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ " 
"Allah sudah memerintahkan kita untuk berdoa kepada-Nya. Coba nanti setelah bubar kalau mau menghafal mintalah kepada-Nya biar kita diberi kemudahan dalam menghafal dan kemudahan menjaga hafalannya. Biar besok kalian kalo setoran nggak malu-maluin. Paham?"
-
Kami serentak menjawab "nggih". Kemudian kami berbaris untuk meminta salam cium tangan sebelum keluar dari masjid
-
--Kalibeber, 9 Mei 2019
Nanas


Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Jika Perempuan Ber I'tikaf? | Muhafaz.com

Do'a pagi Nabi SAW - Muhafaz